REFLEKSI 3 TAHUN PERKULIAHAN

        Tidak terasa, sudah 6 semester mengenyam bangku perkuliahan. Suka dan duka, telah dirasakan. Asam, pahit, manis, kehidupan di masa ini sungguh challenging. Awalnya mengira bahwa perkuliahan adalah satu-satunya pintu menuju kesuksesan. Tempat diri ditempa, menjadi individu yang berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat. Tetapi, setelah diri ini merefleksikannya, hal tersebut memanglah klise. Tidak semua orang bisa merasakan exposure yang sama. Kualitas diri seseorang ditentukan dari beberapa faktor, seperti pengalaman hidup, latar belakang keluarga, serta lingkungan tempat dia tumbuh dan berkembang. Faktor-faktor tersebut nantinya akan membawa seseorang untuk bergaul (berteman) dengan siapa dan juga mencari pendamping hidup yang sesuai dengan kriterianya. Atau secara garis besar, dapat dikatakan bahwa faktor-faktor tersebut menentukan tujuan dan prinsip hidup yang dimiliki seseorang. Saya pribadi merefleksikan hal tersebut dan benar-benar terjadi terhadap diri saya. Sebagai contoh, ketika SMA, saya sangat kental dengan nuansa kajian Al-Youtubiyah dari berbagai da'i online yang eksis seperti Al Mukarram Ustadz Khalid Basalamah, Ustadz Adi Hidayat, Ustadz Abdul Somad, Ustadz Syafiq Riza Basalamah, dan masih banyak lagi. Di sisi lain, saya juga senang menyimak kisah biografi tokoh besar seperti melalui kanal youtube Satu Indonesia, Kick Andy, Hitam Putih, dan masih banyak lagi. Tentunya, itu semua dalam rangka proses pencarian jati diri, yang sebenarnya masih berlangsung hingga sekarang, namun saat ini atmosfernya berbeda sehingga objek yang ditonton juga berbeda. Hal-hal tersebut membawa saya menjadi pribadi yang inklusif namun tetap open-minded. Saya sangat berhati-hati dalam memilih teman, bahkan prosesntasenya bisa 2/36. Disisi lain, saya tidak semata-mata menjadi pribadi yang tertutup dan tidak pandai bergaul, bersosialisasi, serta tidak aktif di kelas begitu saja. Justru, hal tersebut menjadi stimulus bagi mental dan karakter saya untuk terus tumbuh dan berkembang mencapai tujuan dengan tetap memegang prinsip yang saya yakini kebenarannya, bahkan saya tetap aktif berorganisasi OSIS, Pramuka, Duta, serta memegang "gelar" 3 besar terbaik di kelas selama 3 tahun berturut-turut hingga akhirnya mendapat ranking ke-3 paralel terbaik IPA se-sekolah, tentu pencapaian seseorang berbeda-beda karena tujuan dan prinsip seseorang pun juga tidak sama karena berbagai faktor yang saya sebutkan sebelumnya. Nah, tujuan dan prinsip saya pribadi, sangat relevan dengan nilai-nilai keislaman, seperti dalam hal prinsip ialah menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang di sekitar, sebagaimana pada hadits, khairunnas 'anfauhum linnas, yang artinya "sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain." Serta dalam hal prinsip hidup, sebagaimana yang diwahyukan Allah melalui Surat Al Baqarah ayat 30, waidzqoola rabbuka lil malaa 'ikati inni jaa'ilunfiilardzi kholifah, qoolu 'atajalufiiha maayyufsidufiiha wayasfikuddimaa'a wa nahnunusabbihubihamdikawanuqoddisulak, qoola 'inni a'la mu maa laa ta'laamun, yang isi dari kandungan yang saya pahami ialah mengenai tujuan Allah menciptakan manusia yakni sebagai khalifatullah fiil 'ard, yakni pemakmur bumi. Kedua sumber hukum Islam tersebut pula yang mengantarkan saya untuk memilih prodi Ekonomi Islam. 

        Namun, di sini yang perlu ditekankan ialah menurut saya ialah, just like seasons, people change. Ada 1 faktor dari klaster kehidupan manusia yang tidak bisa diprediksi. Yakni faktor the hand of Almighty God. Manusia bisa berencana sesuai yang dia mau, tapi tetaplah Allah yang berkehendak. Hal tersebut saya alami ketika semester 3. Titik dimana saat saya merasa sudah mendapatkan semua yang saya rencanakan dan ingin rasanya untuk melesat lebih jauh dengan capaian itu, namun Allah berkata lain, bahwa itu tidak pantas/baik untuk saya, dan saya tidak pantas/baik untuknya. Dampak dari peristiwa itu masih berpengaruh bagi saya dampaknya, baik dalam aspek psikis maupun sosiologis, hingga saat ini (dengan berbagai kompleksitasnya), dan jika saya ceritakan akan panjang, mungkin (insyaAllah) akan saya bahas nantinya di waktu yang tepat. Singkatnya, peristiwa/kejadian/momen yang tidak pernah saya duga akan datang tersebut mampu merubah pola hidup, hingga tujuan dan prinsip yang sudah lama saya pegang. Bahkan hingga kini, saya merasa hidup 180 derajat (berbanding terbalik) dengan masa-masa SMA saya. Peristiwa tersebut, akhir-akhir ini mengingatkan saya dengan ilmu metafisika hukum 3 newton, F aksi = -F reaksi. Hukum itu berbunyi, "Gaya aksi dan reaksi dari dua benda memiliki besar yang sama, dengan arah terbalik, dan segaris. Artinya jika ada benda A yang memberi gaya sebesar F pada benda B, maka benda B akan memberi gaya sebesar –F kepada benda A. F dan –F memiliki besar yang sama namun arahnya berbeda. Hukum ini juga terkenal sebagai hukum aksi-reaksi, dengan F disebut sebagai aksi dan –F (F><-F) adalah reaksinya." Akan tetapi, menurut saya, penafsiran terhadap hukum tersebut dapat berbagai macam, karena tidak jarang juga dijumpai bukan -F (berlawanan) sebagai reaksinya, namun juga +F (sejalan/setimpal) reaksinya, yakni F><+F. Contoh aplikasinya dalam aspek kehidupan ialah seperti misal dalam aspek sosial berikut, berlaku implementasi F >< +F, yakni apa yang ditanam, itulah yang dituai. Jika kita berbuat baik, maka timbal baliknya, orang akan berbuat baik ke kita. Adapun contoh implementasi F><-F dalam aspek sejarah dunia ialah Islam mengalami kejayaan selama 7 abad (abad ke 7-13), dan mengalami kemunduran selama 7 abad (14-20). Menurut Dino Pati Djalal dalam harian republika, di abad ke-21 ini, Islam sedang dalam proses transformasi menuju kejayaannya kembali, ditandai dengan kemunculan tokoh-tokoh berlatar belakang Islam di panggung global, seperti peroleh nobel Muhammd Yunus dari bangladesh, dan juga dua orang muslim yang menjadi anggota kongres AS. Hukum 3 Newton tersebut bisa kita jadikan alat untuk merefleksi diri kita agar menjadi pribadi yang jauh lebih baik dan bersemangat dari yang sebelumnya, atau dengan kata lain, dalam penerapannya, kita membuang jauh-jauh energi negatif yang kita miliki dan menyerap lebih banyak lagi energi positif untuk ke dalam diri kita. Misal, dalam aspek religiusitas, kita melakukan dosa riba bertahun-tahun lamanya, dampaknya hidup menjadi tidak tenang, lalu kita khilaf, bertaubat kepada Allah, memohon ampunannya, sehingga membuang jauh-jauh dosa tersebut, tidak mengulanginya lagi karena takut akan siksa yang kelak didapatkan di yaumul akhir. Lalu, kita membalasnya dengan melakukan amal-amal yang mendatangkan pahala berlipat ganda, seperti dengan berbisnis sesuai syariah dan bersedekah, dengan berharap mendapatkan ridha Allah dan kemenangan di akhirat nantinya, maka secara otomatis ketenangan hidup akan didapatkan. 

Comments